Alkisah di sebuah desa, terdapat sebuah telaga. Air
telaga tersebut sangat jernih, bening, dan segar rasanya. Penduduk desa
sangat bergantung pada telaga tersebut; minum, mencuci, berwudhu,
mandi, mengairi tanaman dll. Namun, pada suatu hari, penduduk mendapati
bangkai anjing terapung-apung di telaga sumber penghidupan mereka.
Warna, rasa, bau air telaga sudah berubah, ternajisi oleh bangkai anjing
tersebut. Penduduk tercenung. Di desa tersebut tidak ada lagi sumber
air lain.
Pendudukpun berembuk dan mereka sepakat menemui
kiyai di kampung mereka. Setelah memahami dan mempelajari berbagai
kitab, kiyai itu menyarankan agar membuang lima puluh ember air dari
telaga tersebut.
“Insya Allah airnya akan kembali bersih”, saran sang kiyai.
Penduduk bergegas membuang lima puluh ember air
dari telaga. Namun, air telaga itu masih tetap busuk, kotor, dan najis
seperti sebelumnya.
Tergopoh-gopoh, mereka kembali bertanya pada sang kiyai.
“Tidak mungkin, semua kitab-kitab ini rata-rata
berpendapat sama bahwa air telaga itu akan kembali suci setelah dibuang
lima puluh ember airnya”, tegasnya sambil membolak-balik berbagai kitab.
“Cobalah sekali lagi, buang lima puluh ember airnya.”
Penduduk kembali bergegas menuju telaga, namun baru
beberapa langkah mereka beranjak, sang kiyai bertanya, “Maaf, apakah
kalian sudah menyingkirkan bangkai anjing dari telaga?”
“Tidak, Kiyai. Bukankah kiyai hanya menyuruh kami membuang airnya?” jawab salah seorang penduduk dengan lugunya.
“Aduh, kalian benar-benar bebal. Sudah tau yang
menjadi sumber najisnya adalah bangkai anjing, kenapa tidak bangkai itu
yang dahulu kalian buang. Sana, buang dulu bangkai anjingnya.”
Pendudukpun membuang bangkai anjing itu jauh-jauh
dan mengeluarkan lima puluh ember air. Benar saja, setelah lima puluh
ember air, telaga tersebut kembali memancarkan air yang bersih dan
jernih. Tidak kotor sedikitpun. Penduduk kampungpun bersukaria, karena
telaga yang menjadi sumber penghidupan mereka sudah bisa dinikmati lagi.
Begitulah keadaan hati kita. Hati kita dasarnya
suci, bagai selembar kertas putih yang tidak ternoda sedikitpun. Namun,
hati kita sudah ternajisi oleh bangkai hubbud dunya, cinta
dunia. Sumber kebeningan masih tetap mengalir dari mata air fitrah di
dasar sanubari kita, namun ternajisi oleh penyakit hubbud dunya tersebut, sehingga apapun yang keluar dari hati kita tidak lain sudah terkontaminasi.
“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali Imran 185)
Sholat fardhu terasa bagai beban dan dilakukan
hanya sekedar melepas utang, puasa sangat menyiksa, berzikir sungguh
membosankan, sangat berat mengeluarkan infak dan sedekah. Sementara itu,
menonton acara gossip, berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram,
memelototi aurat perempuan menjadi hal yang sangat nikmat.
“Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal
daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik
semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah
semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Bila hati sudah terkotori, maka sudah pasti apa
yang keluar dari mulut, yang menjadi tindakan, dan keseharian kita juga
tidak bersih. Inilah yang menjadi penyebab kerusakan moral di dunia saat
ini. Setiap orang sibuk mengejar dunia, seakan akan hidup selamanya.
Setiap orang menjunjung nafsunya. Bisnis maksiat meraup sukses. Sebab hubbud dunya-lah yang mewarnai hati, jiwa, dan pemikiran.
Bila telaga hati kita bersih dan jernih, maka
beribadah akan menjadi kenikmatan tiada tara. Dikisahkan dalam suatu
peperangan, kaki Ali bin Abi Thalib tertusuk panah. Saat dikeluarkan,
Ali berteriak kesakitan. Ali berkata, “biarkan aku shalat dua rakaat dan
cabutlah saat aku sedang khusyuk.”
Ali shalat dua rakaat dan saat wajahnya terlihat
sangat khusyuk, sahabat mencabut panah yang menembus kaki Ali. Ali tidak
merasakan apa-apa, tetap khusyuk sholat.
Begitu juga khalifah Umar bin Khattab. Pada saat
beliau mengimami shalat berjamaah, musuh yang bersembunyi di balik
mimbar menerjang dan menusuk beliau. Umar tidak bergeming dan tetap
melanjutkan shalatnya, baru setelah selesai, beliau rebah ke tanah.
Itulah keteladanan para sahabat.
Lalu bagaimana menghilangkan hubbud dunya dari hati kita?
Hubbud dunya hanya bisa dihilangkan dengan hubbullah
(keyakinan dan kecintaan kepada Allah SWT). Saat hati meyakini bahwa
hanya Allah SWT-lah sumber kebahagiaan, kekuatan, dan perlindungan, saat
hati merasakan kebesaranNya, ke-MahaAgung-anNya, kekuatanNya, dunia
akan terlihat remeh. Kita tidak akan menuhankan makhluk tuhan lagi.
Bagaimana menumbuhkan hubbullah di dalam hati kita?
Dengan menghayati muraqobatullah, yaitu
keyakinan dalam hati kita bahwa Allah SWT senantiasa melihat dan menilai
perbuatan kita. Dia yang lebih dekat dari urat leher, bisa mendengar
bisikan hati kita, bisa melihat keburukan yang kita perbuat. Bila kita
bisa menghayati penglihatan Allah selalu meliputi kita setiap saat, kita
akan urung melakukan dosa dan maksiat.
Jika ini telah hidup di dalam hati kita, niscaya hubbud dunya
akan sirna dengan sendirinya. Dunia akan terasa kecil dan hina. Makhluk
Allah yang kita sangka adalah sumber rezeki, kebahagiaan, perlindungan,
akan terasa lemah dan tidak berarti. Hanya Allah SWT sumber
kebahagiaan dan kekuatan kita. Pada saat itu, sholat kita, sedekah kita,
puasa kita, zikir kita, semua ibadah kita akan terasa nikmat.
Namun, bayangkan mencabut perban penutup luka, akan terasa sakit bukan? Apalagi hubbud dunya yang telah melekat erat di hati kita bertahun-tahun lamanya. Proses tersebut adalah proses overhaul, proses besar-besaran yang menyakitkan. Hanya mereka yang rela berkorban dan berusaha saja yang berhasil melewati proses ini.
Tapi jangan khawatir, adanya Ar-Rahman (Maha
Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), sebagai asmaul husna pertama
yang disebut, bukan tanpa alasan. Allah SWT menjadikan manusia sebagai
pencurahan kasih sayangnya. Dia menjadikan musibah dan cobaan sebagai
proses overhaul untuk membantu manusia membersihkan telaga hatinya dan kembali pada fitrahnya, kembali pada kebahagiaan hakiki.
~Diilhami dari buku My Dad, My Pious Dad
(Ayahku, Ayah yang Saleh), karya Arsil Ibrahim, semoga menjadi pengingat
bagi penulis dan kita semua.
~juga terdapat di ukhuwah.or.id
Sumber : http://imairi.wordpress.com/2010/06/06/telaga-jernih-dan-bangkai-anjing/#comment-1093
Tidak ada komentar:
Posting Komentar