Kamis, 16 Februari 2012

Telaga Jernih dan Bangkai Anjing

Alkisah di sebuah desa, terdapat sebuah telaga. Air telaga tersebut sangat jernih, bening, dan segar rasanya. Penduduk desa sangat bergantung pada telaga tersebut; minum, mencuci, berwudhu, mandi, mengairi tanaman dll. Namun, pada suatu hari, penduduk mendapati bangkai anjing terapung-apung di telaga sumber penghidupan mereka. Warna, rasa, bau air telaga sudah berubah, ternajisi oleh bangkai anjing tersebut. Penduduk tercenung.  Di desa tersebut tidak ada lagi sumber air lain.

Pendudukpun berembuk dan mereka sepakat menemui kiyai di kampung mereka. Setelah memahami dan mempelajari berbagai kitab, kiyai itu menyarankan agar membuang lima puluh ember air dari telaga tersebut.

“Insya Allah airnya akan kembali bersih”, saran sang kiyai.

Penduduk bergegas membuang lima puluh ember air dari telaga. Namun, air telaga itu masih tetap busuk, kotor, dan najis seperti sebelumnya.
Tergopoh-gopoh, mereka kembali bertanya pada sang kiyai.

“Tidak mungkin, semua kitab-kitab ini rata-rata berpendapat sama bahwa air telaga itu akan kembali suci setelah dibuang lima puluh ember airnya”, tegasnya sambil membolak-balik berbagai kitab. “Cobalah sekali lagi, buang lima puluh ember airnya.”


Penduduk kembali bergegas menuju telaga, namun baru beberapa langkah mereka beranjak, sang kiyai bertanya, “Maaf, apakah kalian sudah menyingkirkan bangkai anjing dari telaga?”

“Tidak, Kiyai. Bukankah kiyai hanya menyuruh kami membuang airnya?” jawab salah seorang penduduk dengan lugunya.

“Aduh, kalian benar-benar bebal. Sudah tau yang menjadi sumber najisnya adalah bangkai anjing, kenapa tidak bangkai itu yang dahulu kalian buang. Sana, buang dulu bangkai anjingnya.”

Pendudukpun membuang bangkai anjing itu jauh-jauh dan mengeluarkan lima puluh ember air. Benar saja, setelah lima puluh ember air, telaga tersebut kembali memancarkan air yang bersih dan jernih. Tidak kotor sedikitpun. Penduduk kampungpun bersukaria, karena telaga yang menjadi sumber penghidupan mereka sudah bisa dinikmati lagi.

Begitulah keadaan hati kita. Hati kita dasarnya suci, bagai selembar kertas putih yang tidak ternoda sedikitpun. Namun, hati kita sudah ternajisi oleh bangkai hubbud dunya, cinta dunia. Sumber kebeningan masih tetap mengalir dari mata air fitrah di dasar sanubari kita, namun ternajisi oleh penyakit hubbud dunya tersebut, sehingga apapun yang keluar dari hati kita tidak lain sudah terkontaminasi.

“Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali Imran 185)

Sholat fardhu terasa bagai beban dan dilakukan hanya sekedar melepas utang, puasa sangat menyiksa, berzikir sungguh membosankan, sangat berat mengeluarkan infak dan sedekah. Sementara itu, menonton acara gossip, berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahram, memelototi aurat perempuan menjadi hal yang sangat nikmat.

“Ketahuilah bahwa dalam jasad ini ada segumpal daging, apabila segumpal daging itu baik, maka akan menjadi baik semuanya, dan apabila segumpal daging itu jelek, maka akan jeleklah semuanya, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Bila hati sudah terkotori, maka sudah pasti apa yang keluar dari mulut, yang menjadi tindakan, dan keseharian kita juga tidak bersih. Inilah yang menjadi penyebab kerusakan moral di dunia saat ini. Setiap orang sibuk mengejar dunia, seakan akan hidup selamanya. Setiap orang menjunjung nafsunya. Bisnis maksiat meraup sukses. Sebab hubbud dunya-lah yang mewarnai hati, jiwa, dan pemikiran.

Bila telaga hati kita bersih dan jernih, maka beribadah akan menjadi kenikmatan tiada tara. Dikisahkan dalam suatu peperangan, kaki Ali bin Abi Thalib tertusuk panah. Saat dikeluarkan, Ali berteriak kesakitan. Ali berkata, “biarkan aku shalat dua rakaat dan cabutlah saat aku sedang khusyuk.”

Ali shalat dua rakaat dan saat wajahnya terlihat sangat khusyuk, sahabat mencabut panah yang menembus kaki Ali. Ali tidak merasakan apa-apa, tetap khusyuk sholat.

Begitu juga khalifah Umar bin Khattab. Pada saat beliau mengimami shalat berjamaah, musuh yang bersembunyi di balik mimbar menerjang dan menusuk beliau. Umar tidak bergeming dan tetap melanjutkan shalatnya, baru setelah selesai, beliau rebah ke tanah.  Itulah keteladanan para sahabat.

Lalu bagaimana menghilangkan hubbud dunya dari hati kita?
Hubbud dunya hanya bisa dihilangkan dengan hubbullah (keyakinan dan kecintaan kepada Allah SWT). Saat hati meyakini bahwa hanya Allah SWT-lah sumber kebahagiaan, kekuatan, dan perlindungan, saat hati merasakan kebesaranNya, ke-MahaAgung-anNya, kekuatanNya, dunia akan terlihat remeh. Kita tidak akan menuhankan makhluk tuhan lagi.

Bagaimana menumbuhkan hubbullah di dalam hati kita?
Dengan menghayati muraqobatullah, yaitu keyakinan dalam hati kita bahwa Allah SWT senantiasa melihat dan menilai perbuatan kita. Dia yang lebih dekat dari urat leher, bisa mendengar bisikan hati kita, bisa melihat keburukan yang kita perbuat. Bila kita bisa menghayati penglihatan Allah selalu meliputi kita setiap saat, kita akan urung melakukan dosa dan maksiat.

Jika ini telah hidup di dalam hati kita, niscaya hubbud dunya akan sirna dengan sendirinya. Dunia akan terasa kecil dan hina. Makhluk Allah yang kita sangka adalah sumber rezeki, kebahagiaan, perlindungan,  akan terasa lemah dan tidak berarti. Hanya Allah SWT sumber kebahagiaan dan kekuatan kita. Pada saat itu, sholat kita, sedekah kita, puasa kita, zikir kita, semua ibadah kita akan terasa nikmat.

Namun, bayangkan mencabut perban penutup luka, akan terasa sakit bukan? Apalagi hubbud dunya yang telah melekat erat di hati kita bertahun-tahun lamanya. Proses tersebut adalah proses overhaul, proses besar-besaran yang menyakitkan. Hanya mereka yang rela berkorban dan berusaha saja yang berhasil melewati proses ini.

Tapi jangan khawatir, adanya Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), sebagai asmaul husna pertama yang disebut, bukan tanpa alasan. Allah SWT menjadikan manusia sebagai pencurahan kasih sayangnya. Dia menjadikan musibah dan cobaan sebagai proses overhaul untuk membantu manusia membersihkan telaga hatinya dan kembali pada fitrahnya, kembali pada kebahagiaan hakiki.

~Diilhami dari  buku My Dad, My Pious Dad (Ayahku, Ayah yang Saleh), karya Arsil Ibrahim, semoga menjadi pengingat bagi penulis dan kita semua.
~juga terdapat di ukhuwah.or.id

Sumber : http://imairi.wordpress.com/2010/06/06/telaga-jernih-dan-bangkai-anjing/#comment-1093

Tidak ada komentar:

Posting Komentar